Hello all! Whatsssuuppp~
It’s been a long time since my last post yang bahkan gue udah gak
inget apa bentuk dan isinya. I know I wrote this many times but seriously, this
time I’m so BM to write this again in this prologue part of post: It feels so
nice to open my laptop, click Google chrome icon, type blogspot.com, open my Go-blog account, and write all the unimportant things that happened recently in
my life again. Hah!!
How’s thing going evribadeeh?
For those who already found lovers, I wish
you a happy Saturday night this weekend.
For those who are doing assignments, I
wish you a very good mark for those sleepless nights.
And for those who just
had supper, I wish you lose all those fat by this morning.
Amen.
Anyway, Sekarang waktu laptop bagian Suriamas gue sudah menunjukan
pukul 03.02 pagi. As usual, kalau gue masih terjaga sampai jam 3 pagi, just
like what Ted says,
“There is nothing good happens after 2 AM.”
Kalau
sudah jam segini, biasanya gue sudah tidak bisa tidur, tidak kondusif dalam belajar,
tidak menikmati berpacaran, melihat penampakan, dan menjadi galau. These will
then lead me to the time zone which I called, “Waktu Dewi Ria bagian Berpikir.”
This time zone usually forces me to use a little space in my brain. A space I don’t
always use. A space that asks me to put a little bit concern about my personal life.
Aseddaaapp.
So just now, I was thinking of what have I done since I arrived in
Kuala Lumpur airport last year.
Apa saja yang sudah gue dapatkan semenjak gue hidup
sendiri di kota ini.
Also what I suppose to do in terms of enhancing myself
while I still have a chance to stay here.
Berat memang topik pembicaraan
go-blog pada pagi yang gelap ini. Berat sampai gue tidak tau apa yang mau gue
tulis. Bagaikan ibu-ibu yang sedang bergosip awut-awutan sampai melupakan suami
dan anak-anak mereka yang sudah susah-susah bangun pagi untuk mengantar ke tempat
arisan, semua hal di kepala gue berkumpul menjadi satu kesatuan dan sulit
diuraikan.
Namun, bukan Go-blog namanya kalau gue tidak mampu menjelaskan
ke-absurd-an isi kepala gue.
Dan bukan Go-blog namanya kalau gue menjelaskan dengan
kata-kata yang sesuai dengan norma adat istiadat dan mudah dimengerti manusia
normal.
Baiklah, about things I have done, I realized that I have become an
integrated version of a person since I live here. Ibaratnya sekarang gue sedang
menjadi Bezita, tapi versi super saiya dengan rambut kuning dan berdirinya.
Setidaknya
gue sudah agak lebih bisa menggunakan bahasa inggris, walaupun grammar masih
suka seenaknya.
Setidaknya gue sudah lebih bisa menahan emosi, sampai Annisa
Ramadhani pun bingung gue gak marah ketika ada wanita tidak dikenal memancing
perkelahian via twitter.
Dan setidaknya gue sudah tahu bahwa roti gandum yang
sudah kadaluwarsa 1 minggu masih aman dimakan dan tidak mematikan.
About things I have gotten, man, that would beat my Financial
Institutions and Monetary Theory assignment word limit to describe.
Intinya,
banyak sekali yang gue dapatkan dan mungkin tidak akan bisa gue dapat kalau gue
masih tinggal di Jakarta. For instance: pacar yang baik hati dan penyayang juga
pengasih dan berbahasa melayu. Tak kan lah I boleh dapat boyfriend macam ni
masa I dekat Jakarta kan?
Being in a relationship with a local gives me the opportunities such as do a daily conversation
in 3 languages (English, Indonesian, and Melayu), learn about Malaysian culture,
and to be loved by someone who still tried his best to listen to my story when
he was falling asleep.
However, we’re not living in a perfect world.
Nothing good happens after 2 AM, though you might get the best at 1.
What I want to say is all good
things must bring bad things as well in the end of the day.
This is what we
called “The Opportunity Cost”. Unfortunately, the opportunity cost in my
situation, charges me an enormous amount.
To be able to speak English well, you
cannot just flip your hand and suddenly kerasukan setan bule dan berbicara English
dengan logat british (read: Bri’ish). It’s a long process needed, especially
when you’re an Indonesian yang tidak pernah berbicara dan menulis inggris
selain di high school, itu pun gurunya saja tidak tahu bahasa inggrisnya ‘kacang
hijau’.
Maka itu lah, I swear I’ve tried my best
untuk membiasakan diri berbahasa inggris setiap hari, yang akhirnya membuat gue
kehilangan jati diri at the same time.
Ini maksudnya bukan gue tiba-tiba jadinya
ngomong bahasa inggris dengan logat bri’ish dan lupa berbahasa Indonesia. Ini maksudnya,
karena gue tiap hari berbicara menggunakan bahasa 3in1, akhirnya kacau balau sudah
semuanya. Mending kalau semua bahasanya betul. Ini masalahnya bahasa 3in1 yang gue gunakan setiap harinya adalah bahasa-bahasa yang tidak bisa dicampur adukan, dilanjutkan gue memakai asas seenaknya
dalam mengaplikasikanya. Bentuknya bagaikan Titanic yang menabrak batu karang jadinya: jelek.
This is why I use a combination of English-Indo language
in this post.
It’s not that I want to confuse you guys who are reading this
post. But I seriously confused myself as well when I type all this shit.
I can’t
even write a story in a good Indonesian language anymore now. Mengenaskan memang.
I swear, untuk post Go-blog kali ini, gue sudah me-paraphrase-kannya agar tidak tercampur aduk dengan bahasa melayu, kalau tak, lagi lah you tak kan paham.
This language problem also leads to other problems such as lack of
confidence and a humor sense decrease. Bayangkan, laki gue sampai gak percaya
kalau dulu gue selalu menjadi MC dalam beberapa acara akbar bertaraf nasional
dan internasional (iya bangett~) karena gue ngomong di telefon saja tidak
becus. Cussss~
![]() |
| Yeah. So much lack of confidence. Wearing a 5-year-old boy t-shirt and short when opened the ceremony of biggest event in campus. |
Yah begitulah kisah sedih di rabu pagi ini.
Waktu laptop bagian Suriamas ini sudah menunjukan
pukul 06.41 saat ini.
I believe even if there’s nothing good happens after 2 AM, there will be time that good things might have chance to happen.
Maybe after 6?
Good mor-night everyone J
